Pada hari Minggu (31Mei 2009), sekitar pukul 02.15 dini hari, saya mendapat telpon dari Fahmi, rekan yunior saya di fungsi Konsuler, yang memberitahukan bahwa ia tengah berada di hotel Cross Royal Plaza, Singapura, sehubungan dengan diterimanya info dari staf kedubes AS di Singapura mengenai adanya warga Indonesia yang tengah dalam kasus (penganiayaan oleh suami) dan sedang ditangani polisi Singapura. Fahmi bersama 2 orang teman lainnya (semuanya staf KBRI Singapura) segera meluncur ke hotel dimaksud dan lalu menghubungi pihak kepolisian Singapura untuk mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut.
Sesampai di hotel, menurut penuturannya, sudah ada dua orang staf kedubes AS disana, beberapa polisi Singapura, dan juga “warga negara” Indonesia yang bermasalah tersebut, yang ternyata bernama Manohara. Polisi berjaga-jaga di depan pintu sebuah kamar di lantai 3 hotel tersebut, sementara Manohara sendiri ada di dalamnya, bersama ibunya dan juga beberapa orang lainnya. Dikabarkan bahwa staf dari kedubes Malaysia di Singapura sempat juga mencoba untuk menemui Manohara, tetapi tidak diijinkan oleh polisi Singapura. Yang diijinkan hanya orang-orang tertentu, yaitu dari Kedubes AS dan dari KBRI serta beberapa orang terkait. Keterlibatan kedubes AS di situ, saya duga, karena ayahnya Manohara adalah warga negara Amerika Serikat.
Fahmi juga menceritakan bahwa Manohara melaporkan kepada polisi atas penganiayaan yang dilakukan suami dan pihak keluarganya. Ia berada di Singapura bersama suami dan pihak keluarga suaminya untuk menjenguk ayah mertuanya yang sedang sakit jantung di rumah sakit Singapura. Kesempatan itu digunakannya untuk bertemu dengan ibunya (yang secara diam-diam datang dari Jakarta) dan untuk ‘melarikan diri’ ke Jakarta.
Jadi, keadaannya saat itu adalah, bahwa Manohara sudah berada di bawah perlindungan polisi Singapura, dan diinvestigasi mengenai kasusnya. Terhadap keinginannya untuk ‘melarikan diri’ ke Jakarta, tentunya tidak akan jadi masalah bagi polisi Singapura apabila memang kasusnya tidak menyangkut kepentingan Singapura. Hanya saja, Manohara tidak membawa kelengkapan dokumen perjalanan (paspor), yang menurut penuturannya, disimpan oleh suaminya. Masalah penting yang harus diselesaikan oleh kami dari KBRI Singapura, karenanya, adalah menyangkut travel dokumen Manohara. Sesuai arahan Duta Besar dan seteah berkonsultasi dengan Jakarta, kami mendapatkan perintah untuk menerbitkan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) atas nama Manohara agar ia dapat menuju ke Jakarta dengan selamat.
Setelah mendapat penjelasan mengenai situasi saat itu, saya pun ‘merapat’ menuju hotel tersebut sekitar 02.45 dini hari. Sesampai dihotel, saya tidak langsung dibolehkan menuju lantai 3 yang lift-nya ternyata diblokir oleh pihak hotel. Setelah saya tunjukkan kartu identitas saya, seorang petugas hotel mengantarkan saya naik dengan lift ke lantai 3. Beberapa orang ada di depan kamar Manohara, termasuk polisi, dari kedubes AS dan beberapa orang lainnya saat saya sampai disana. Kami pun segera berkoordinasi mengenai langkah selanjutnya dalam menangani kasus Manohara. Ada 3 hal yang perlu dilakukan:
1) Penerbitan SPLP, yang tentunya memerlukan foto dan informasi/keterangan diri. Karena keadaan darurat, salah seorang dari kami mengambil foto Manohara dengan menggunakan hand phone, lalu file-nya dibawa ke kantor untuk di-print dan diproses dengan segera, saat itu juga.
2) Pemesanan tiket. Manohara dan ibunya (Daisy Fajariani?) menginginkan terbang ke Jakarta secepatnya, dengan pesawat paling pagi, pada kesempatan pertama. Kami segera menghubungi pihak airport, dan akhirnya didapatkan bahwa pesawat paling pagi adalah Garuda 823 pukul 07.05 dari Singapura (pukul 06.05 WIB).
3) Perlu ada pengawalan oleh salah satu dari kami hingga Manohara dan ibunya sampai di Jakarta. Demikian pula, perlu ada penjemputan oleh pihak Deplu Jakarta, saat tiba di Cengkareng. Duta Besar kami, yang memang sangat intens mengikut perkembangan kasus ini sampai detail, memberikan persetujuan terhadap rencana ini. Kemudian beliau menginstruksikan salah satu dari kami (Fahmi) untuk mengawal ke Jakarta. Pada saat yang bersamaan, saya pun berkoordinasi dengan Deplu mengenai penjemputan di Cengkareng. Semua ini perlu dilakukan mengingat sensitivitas kasus ini di mata publik.
Suasana cukup tegang namun tetap terkendali karena adanya komunikasi yang harmonis baik diantara kami maupun dengan pihak-pihak terkait, yaitu kepolisian Singapura dan Kedubes AS di Singapura. Ketegangan masih kami rasakan saat meninggalkan hotel menuju airpotr sekitar puku 04.30 waktu setempat dan demikian halnyya setelah sampai dan selama berada di airport. Sambil menunggu waktu check-in tiba, kami sempat mencoba untuk ‘santai’ minum teh dan berbincang-bincang. Baik Manohara maupun ibunya terlihat bahagia, meskipun masih menyisakan ketegangan di wajahnya masing-masing.
Dalam perbincangan dengan kami, Ibunya Manohara bercerita mengenai berbagai upaya yang telah dilakukannya untuk bisa berkumpul kembali dengan anaknya. Antara lain diceritakan bahwa ia pun sempat menelpon salah seorang kenalannya yang sebelumnya pernah bekerja di KBRI Singapura untuk menanyakan kemungkinan KBRI Singapura bisa membantunya untuk 'melarikan' Manohara dari Singapura. Menurutnya, sang kenalan tersebut mengatakan bahwa kemungkinan KBRI Singapura tidak akan bisa memberikan bantuan mengingat saat itu hari libur, biasanya 'tidak ada orang', sehingga baru hari Senin bisa dilayani. Penuturan ibunya Manohara jelas sekali, bahwa pernyataan kemungkinan KBRI Singapura tidak bisa memberikan bantuan adalah berasal dari kenalannya (yang sudah tidak lagi bekerja di KBRI Singapura dan kini berada di Jakarta), dan bukan dari pihak resmi KBRI Singapura. Kenyataannya, saat itu kami berada bersama-sama dengannya sehingga "persepsi" kami tidak memberi bantuan adalah gugur dengan sendirinya.
Ketika saat check-in tiba, kami pun berpisah, saling bersalaman melepas kepergian seorang anak manusia dan ibunya yang tengah menyelesaikan masalah. Bersama mereka ada dua orang wartawan (yang sejak beberapa hari sebelumnya memang sudah berada di Singapura untuk memantau kemungkinan terjadinya kasus ini, saluut..!). Namun, segera setelah mereka masuk lewat pintu airport, kami sempat kembali tegang, karena terlihat dari luar, petugas imigrasi terkesan sedang menanyai Manohara cukup lama. Hal ini wajar karena ia menggunakan SPLP, bukan paspor. Terhadap hal ini, teman dari imigrasi KBRI SIngapura, segera bertindak, menghubungi pihak imigrasi Singapura untuk menyhelesaikan kasusnya, hingga terlihat mereka pun dapat melaluinya dengan lancar.
Setelah melalui petugas imigrasi, mereka pun tersenyum dan kembali melambaikan tangan kepada kami yang berada di luar. Kami balas lambaian tangan mereka hingga mereka pun hilang dari pandangan. Kami semua kemudian menarik nafas lega dan saling bersalaman.
Diantara ‘rombongan’ kami ada seorang laki setengah baya yang selalu diam dan kelihatan paling tegang. Ia biasa disapa dengan panggilan ‘Datuk’, yang ternyata masih memiliki hubungan kerabat dengan pihak keluarga suami Manohara. Pak Datuk ini memiliki andil besar dalam ‘menyelamatkan’ Manohara, karena selama ini ikut membela dan memperjuangkan kebebasan Manohara.
“Alhamdulillaah Datuk, sudah selesai dan mudah-mudahan mereka sampai dengan selamat di Jakarta”. Kataku. Ia lalu menatapku sambil tersenyum penuh kepuasan. Bahkan kami pun berangkulan sebagai rasa syukur bahwa ‘drama” Manohara telah dapat diselesaikan.
Datuk hanya bicara, “Life is too short..!”. Ketika saya bertanya lebih jauh mengenai hal itu, ia pun menjelaskan bahwa hidup kita di dunia ini terlalu pendek sehingga harus kita isi dengan hal-hal yang baik. Saya bereaksi, “Woow.. Datuk, suatu prinsip hidup yang baik sekali.! Semoga Allah memberikan balasannya kepada Datuk.” Kataku, yang kemudian dijawabnya dengan “amin…”.
Kami pun berpisah sambil tak lupa ia ingatkan agar jangan sungkan-sungkan untuk menghubunginya bila saya kebetulan berkunjung ke Kuala Lumpur. Saya hanya bilang, “Insya Allah.. Datuk”.
Dengan penuh kelegaan, sekitar pukul 07.00 pagi, kami semua berpisah menuju tempat parkir masing-masing. Dengan mata yang terasa berat karena belum tidur semalaman, dengan perlahan saya kendarai mobil pulang ke rumah sambil hati bartanya-tanya, “Ada hikmah apa lagi dari semua ini?”
Hanya Allah yang tahu semua yang terjadi pada umatnya. Kadang terlihat nyata, kadang hanya tersamar. Tetapi begitulah dinamika kehidupan saat bertugas di Perwakilan, KBRI Singapura. Wallahualam…!
Jumat, 12 Juni 2009
Kasus Manohara dari sisi lain (ditulis oleh staf KBRI Spore)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Posting Komentar