Berita DiBlog Ini Tidak Murni Dari saya, ada yang mengambil cari blog/Forum tetangga untuk sekedar berbagi informasi. Jadi Mohon Maaf Jika Terdapat berbagai macam kesalahan karena saya hanya ingin berbagi info.

Translate Tool

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF
ads ads ads ads
NB: Bagi Yang Ingin Memasang Iklan Hubungi Saya. Harga di Negosiasikan

Jumat, 01 Mei 2009

Pemalsuan Heboh Bukti Evolusi Jepang [Bagian 3]

Bagaimana mungkin selama 20 tahun pemalsu sejarah evolusi Jepang tidak terungkap? Menurut pakar ia tidaklah sendirian!
[Part 3]

Hidayatullah.com — Pemalsuan menggemparkan oleh Shinichi Fujimura sebenarnya bisa saja dicegah atau setidaknya dapat diungkap sedari awal, jika saja para arkeolog yang berwenang di Jepang tidak bersikap dogmatis dan berpikiran lebih terbuka. Kekakuan mereka dalam menolak pandangan lain yang berseberangan atas temuan purbakala yang dianggap bukti sejarah evolusi nenek moyang bangsa Jepang itu akhirnya justru merugikan Jepang sendiri.

Sebut saja profesor Charles T. Keally, yang bersama rekannya Oda Shizuo pernah mempertanyakan keabsahan ilmiah temuan-temuan Paleolitikum Jepang itu. Keally telah menghabiskan banyak kegiatan akademisnya di Jepang. Ia adalah ilmuwan di bidang Zaman Batu Jepang dan budaya Jomon, yakni masa prasejarah Jepang.

Pada tahun 1986 keduanya menerbitkan tulisan di jurnal ilmiah terkemuka yang mengritik temuan di situs Paleolitikum Muda dan Madya, propinsi Miyagi. Namun yang mereka dapatkan malah cercaan dari arkeolog terkemuka yang mengatakan bahwa pemikiran Keally dan rekannya itu salah dan bahwa kritik itu seharusnya tidak diterbitkan di jurnal ilmiah. Kritik kedua pakar ini pun lantas dilupakan begitu saja.

Namun kebenaran berpihak pada Keally dan rekannya. Empat belas tahun kemudian, pemalsuan Fujimura pun dibongkar media massa ketika ia kepergok sedang mengubur sengaja benda-benda purbakala palsu di dua situs Paleolitikum Muda. Sejak itu, bangunan sejarah Paleolitikum Muda Jepang yang telah disusun sejak 1980 pun hancur berantakan.

Kerugian dunia ilmiah

Menurut jurnal ilmiah Anthropological Science (Vol. 113, no. 2, 131–139, tahun 2005), setidaknya sejak tahun 1976, atau mungkin lebih awal, Shinichi Fujimura telah memalsukan temuan di kurang lebih 186 tempat galian purbakala di Jepang timur. Fujimura yang dijuluki “Si Tangan Tuhan” itu tidak segan melakukan pemalsuan, meskipun penggalian ilmiah tersebut didukung oleh pemerintah daerah setempat dan dua lembaga nirlaba Sekki Bunka Danwakai (Kelompok Penelitian Zaman Batu) dan Tohoku Kyusekki Bunka Kenkyujo (Lembaga Penelitian Paleolitikum Tohoku).

Pemalsuan bukti sejarah evolusi masyarakat Jepang ini mendorong Japanese Archaeological Association (Ikatan Arkeologi Jepang, JAA) menerbitkan laporan akhir hasil penyidikannya setebal 625 halaman. Laporan tersebut membeberkan bahwa tak satu pun benda-benda purbakala temuan Fujimura memiliki nilai ilmiah. Demikian ungkap jurnal Anthropological Science itu dengan judul “For the people, by the people: postwar Japanese archaeology and the Early Paleolithic hoax” (Untuk rakyat, dari rakyat: arkeologi Jepang pasca perang dan pemalsuan zaman batu mula).

Berdasarkan informasi yang diperoleh redaksi hidayatullah.com dari jurnal Archaeology (Vol. 54 No. 1, Jan./Feb. 2001) terbitan Archaeological Institute of America, Museum Nasional Tokyo telah menyingkirkan lebih dari 20 buah pajangan purbakala hasil temuan Fujimura. Museum-museum lain di Jepang pun melakukan hal serupa.

Akibat tindakan tidak terpujinya, Fujimura dipecat dari Institut Tohoku dan Ikatan Arkeologi Jepang (JAA). Wibawa lembaga Institut Tohoku ambruk. "Tidak ada lagi yang dapat Anda katakan... Dengan pembeberan media massa ini, seluruh hasil kerja kami selama bertahun-tahun hancur lebur”, ujar mantan kepala lembaga itu, Toshiaki Kamata, yang mengundurkan diri paska terkuaknya skandal buruk tersebut.

Tersingkapnya pemalsuan ini memaksa perombakan buku-buku pelajaran sejarah Jepang. Institut Paleolitikum Tohoku, tempat sebelumnya Fujimura menjabat sebagai deputi direktur, juga dibubarkan.

Terbuang sia-sia

Perbuatan Fujimura memalsukan bukti sejarah evolusi manusia Jepang itu tidak hanya merugikan dunia ilmu pengetahuan. Pemalsuan ini juga telah menghambur-hamburkan uang jutaan dolar dalam pembiayaan kegiatan penggalian situs purbakala, penerbitan ilmiah, pertemuan ilmiah, pameran dan museum, serta kucuran dana penelitian dari pemerintah yang diperuntukkan bagi berbagai ilmuwan dan organisasi.

Berdasarkan temuan Fujimura mengenai situs-situs purbakala yang dianggap penting, para pengusaha dan pemerintah daerah tempat digalinya situs purbakala tersebut juga telah terlanjur menanamkan modal untuk membangun sarana pariwisata dan memproduksi cendera mata. Dunia pariwisata yang telah susah payah dikembangkan pun terkena getah pahit perbuatan Fujimura itu setelah terbukti bahwa benda-benda purbakala yang ditemukan di situs-situs tersebut ternyata palsu.

Selain itu para pakar purbakala dan kalangan arkeolog profesional yang telah bekerja bersama Fujimura telah membuang-buang waktu lebih dari 20 tahun secara sia-sia. Bahkan karir dan wibawa mereka ini berkemungkinan tercoreng akibat tingkah laku memalukan Fujimura.

Bukan seorang diri

Sejumlah kalangan mempertanyakan, bagaimana mungkin pemalsuan ini bisa berlangsung selama puluhan tahun tanpa diketahui pihak berwenang. Apakah yang menyebabkan Fujimura berani melakukan perbuatan memalukan itu?

Sebuah dugaan muncul bahwa yang mendorong Fujimura melakukan perbuatan buruknya adalah gangguan kejiwaan yang dialaminya. Jurnal ilmiah kondang, Nature (Vol 445, 18 Jan. 2007, hal. 244-245) menuturkan, paska terungkapnya pemalsuan itu, Fujimura dirawat di rumah sakit karena gangguan jiwa. Ia dilaporkan menikah lagi, mengubah namanya, dan kini hidup tenang di kota kecil dekat pantai Pasifik.

Namun dugaan kelainan jiwa ini ditepis oleh profesor Charles T. Keally. Kesaksian dan pengalamannya sebagai pakar arkeologi di Jepang membantah hal itu. Ia menuliskan:

Skandal-skandal yang melibatkan kalangan kelas atas di segitiga-besi Jepang yang terdiri dari para politikus, pejabat pemerintah, dan pengusaha, berakar dari sistem tertutup di sana juga, dan dari ketaatan yang dipaksakan dalam kelompok, tatanan hirarkis, dan kerahasiaan. Ini hanyalah sebuah sisi dari penyebab, atau penyebab-penyebab utama yang mendasari skandal teranyar di bidang arkeologi ini.

Banyak perbincangan media massa memusatkan perhatian pada hal-hal tentang Fujimura dan kehidupannya yang mendorongnya menguburkan barang-barang tiruan di situs galian. Ia di bawah tekanan untuk mendapatkan hasil –karena berbagai alasan.

Ia menari telanjang di pesta-pesta untuk menghidupkan suasana (Aera Nov. 20, 2000, p. 19). Hal ini untuk mengalihkan perhatian. Saya telah menyaksikan banyak arkeolog memalsukan laporan demi mendapatkan anggaran dana. Dalam video yang saya punya, Fujimura bukanlah satu-satunya yang menari telanjang, dan banyak (namun bukan berarti semua) penontonnya terlihat menikmati pertunjukkan tersebut.

Dan banyak sekali peserta konferensi menghabiskan keseluruhan malam dengan mabuk-mabukan –untuk menghidupkan suasana– dan datang di keesokan harinya dalam keadaan teler berat atau masih mabuk. Sebagian bahkan tidak mampu membaca makalah (ilmiah) mereka sendiri. Jika perbuatan Fujimura diartikan ia memiliki semacam gangguan jiwa, maka sejumlah besar arkeolog lain juga demikian.

Permasalahan utamanya adalah mengapa dibutuhkan (waktu) sedemikian lama untuk mengenali adanya masalah dalam “tangan tuhannya” dan seluruh masalah lain di situs-situs (purbakala) Paleolitikum Mula dan Madya yang ia kerjakan. Mengapa sedemikian banyak arkeolog terkemuka menerima sama sekali keabsahan barang-barang (temuan) yang memiliki sisi-sisi yang patut dipertanyakan itu?

Apa pun penjelasan terhadap perbuatan Fujimura pada akhirnya nanti, ini hanyalah penjelasan perkiraan. Penyebab utamanya lebih jauh dari sekedar satu orang ini. Fujimura layak mendapatkan celaan atas perbuatannya. Tapi ia juga patut mendapatkan simpati kita, karena ia pada akhirnya adalah hasil dari sebuah sistem yang telah menghasilkan banyak skandal, stres dan bunuh diri.

Dan setiap hari, tampaknya, media massa melaporkan bahwa apa yang kita saksikan sebagai skandal, stres dan bunuh diri hanyalah “sebuah ujung puncak dari gunung es”." (Japan's Early Palaeolithic Fabrication Scandal, Japanese Scandals -- This Time It's Archaeology, --A Preliminary Report --, by Charles T. Keally, November 17, 2000)

Apa yang dituturkan Keally ini mirip dengan yang diakui oleh pakar Jepang, Ken Amaksu, sebagaimana dikutip jurnal Archaeology:

Many archaeologists privately questioned Fujimura's discoveries, but he was rarely publicly challenged. Chairman of the Japanese Archaeological Association Ken Amaksu conceded that Japan's academic environment may have played a role in the ongoing ruse. ("God's Hands" Did the Devil's Work, Archaeology, vol. 54 no. 1, Jan./Feb. 2001)

Banyak arkeolog diam-diam mempertanyakan temuan-temuan Fujimura, tapi ia jarang ditantang secara terbuka. Ketua Ikatan Arkeologi Jepang Ken Amaksu mengaku bahwa lingkungan akademis Jepang mungkin telah turut berperan dalam penipuan yang terus-menerus itu.

Di bagian ke-4 (habis) insya Allah akan dapat dipahami secara lebih rinci, mendalam, dan jelas betapa pemalsuan akbar ini bukan disebabkan oleh satu orang saja. Rekayasa yang mendorong didapatkannya bukti sejarah evolusi manusia Jepang ternyata melibatkan banyak kalangan. [bersambung/ah/anthropological-science/archaeology/nature/www.hidayatullah.com]


Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog