Ahli Jepang mengakui kepiawaian Fujimura memalsu temuan purbakala. Ia bahkan dikabarkan punya kekuatan gaib.
[Part 4-Habis]
Hidayatullah.com--Berdasarkan temuan purbakala Shinichi Fujimura, sejarah Jepang
sebelumnya diperkirakan berusia 700 ribu hingga 800 ribu tahun. Namun anggapan itu keliru setelah temuan Fujimura terbukti palsu. “Ini berarti peradaban kita hanyalah 70.000 hingga 80.000 tahun. Jadi sejarah Jepang menjadi sepersepuluh dari yang kita duga,” kata Toshiki Takeoka, pakar ilmu purbakala di Kuromitsu Kyoritsu University, Tokyo. (1)
Reruntuhan Kami-Takamori dulunya terkenal sebagai situs Zaman Batu Awal tertua di Jepang. Terlebih penting lagi, temuan-temuan perkakas batu mengisyaratkan manusia awal Homo erectus di tempat tersebut memiliki tingkat kecerdasan simbolik yang jauh melebihi pendapat mana pun yang didasarkan pada temuan di Afrika dan Eropa. (2)
Namun simbol kebanggaan nasional masyarakat Jepang itu kini tidak hanya runtuh, tapi juga berubah menjadi aib memalukan di mata dunia semenjak terkuaknya pemalsuan Fujimura. Keadaan ini digambarkan sendiri oleh Charles T. Keally, pakar purbakala di Sophia University, Tokyo:
“Kini hal itu – dan mungkin keseluruhan Zaman Batu Mula dan Pertengahan Jepang – telah tenggelam ke dalam lumpur perilaku memalukan, sesuatu yang menghiasi halaman-halaman muka surat kabar setiap hari, ketika para politikus, pejabat pemerintah, pengusaha, doktor, pengacara dan pemimpin di hampir setiap bidang kehidupan tampil di halaman-halaman muka dengan kepala mereka tertunduk malu.” (2)
Pemalsuan akbar tersebut memunculkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin Fujimura, yang kini dijuluki “Si Penggali Kotor”, tidak kepergok selama 20 tahun? Sejumlah ahli di Jepang berpendapat bahwa si kambing hitamnya adalah Fujimura sendiri, disamping sebab luar. Fujimura diakui sejumlah kalangan sebagai sosok meyakinkan dan memiliki keahlian luar biasa dalam mengubur temuan palsunya. Faktor luar melibatkan berbagai pihak, terutama kalangan akademisi.
Lihai menipu
Shoh Yamada, pakar purbakala yang pernah menggali situs bersama Fujimura, tercengang oleh keterampilan luar biasa Fujimura dalam mengelabui. Berdasarkan pengalamannya sendiri dan pengakuan pakar arkeologi lain, adalah sulit membedakan mana galian purbakala alami yang asli dan mana yang sengaja dipalsukan oleh Fujimura. Apa yang semula mereka duga asli, belakangan diketahui hasil karya “tangan kotor” Fujimura.
Kelihaian memalsu benda arkeologi itu selain masih menjadi teka-teki, juga cukup membuat pakar arkeologi keheranan. Apalagi jika mengingat Fujimura hanyalah tamatan sekolah atas, pekerja pabrik alat elektronik, dan tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang arkeologi. Bagaimana Fujimura yang tidak terdidik profesional di bidang arkeologi bisa menipu sedemikian banyak pakar Jepang dalam rentang waktu lama? “Ini menunjukkan bahwa kita belum tahu semua teknik yang digunakan oleh Fujimura”, kata Shoh Yamada. (3)
Berkekuatan gaib
Sejumlah kalangan tidak menaruh praduga buruk terhadap Fujimura lantaran penampilan dan kepribadiannya yang terlihat meyakinkan. Bahkan ada yang sampai memberi sanjungan berlebihan atas Fujimura. Selain julukan “Sang Tangan Tuhan” lantaran keberuntungannya mendapatkan banyak temuan purbakala (yang di kemudian hari diketahui palsu), Shinichi Fujimura didesas-desuskan memiliki pula kekuatan gaib (4). Bahkan ada ilmuwan Jepang sendiri yang sampai percaya hal gaib itu.
Keiichi Omoto, pakar antropologi biologi terkemuka Jepang, yakin kalau Fujimura punya kekuatan gaib. Sebagaimana dikisahkannya sendiri, ia mengakui bahwa keraguannya sirna saat bertemu langsung dengan Fujimura:
“...beberapa tahun silam saya mulai menjalin hubungan dengan kelompok Serizawa dan benar-benar bertemu dengan Fujimura sendiri. Ketika berbincang seputar beragam hal dengannya, saya berpikir bahwa itu karena pengalaman dan pemikiran [Fujimura] dan, entah bagaimana, percaya bahwa ia mampu memahami ‘arwah’ Homo erectus (genjin no kokoro)” (5)
Melibatkan banyak pihak
Charles T. Keally berpendapat seluruh masyarakat Jepang, terutama akademisi, dan khususnya kalangan arkeologi, pada akhirnya bertanggung jawab atas terjadinya skandal itu. Charles T. Keally telah 30 tahun bekerja di bidang arkeologi Jepang, terutama Zaman Batu Jepang, di dalam negeri Jepang sendiri. Ia secara khusus tertarik dengan masalah Zaman Batu Mula dan Pertengahan di Jepang. Menurutnya, permasalahan ini penuh pertentangan sejak permulaannya di awal 1960-an. Tapi hal itu belum pernah dibahas dengan pendekatan akademis dan ilmiah. (2)
Selain itu, sejumlah arkeolog mengaku pernah curiga atas kemampuan Fujimura yang luar biasa. Tapi rasa hormat terhadap wibawa lembaga akademis Jepang telah mengurungkan niat mereka mengemukakan kecurigaannya. (1)
Peneliti lain mengisahkan bagaimana ia sudah pernah melontarkan keraguan terhadap temuan Fujimura ke khalayak ramai, tapi malah disuruh tutup mulut oleh tokoh senior di lingkungan arkeologi Jepang. Toshiki Takeoka di antara yang memiliki kecurigaan ini. Ia pernah mencoba menerbitkannya di jurnal akademis, tapi editor jurnal itu memaksa agar ia melunakkan kritiknya. (1)
Menurut kepala Dewan Pemerintah untuk Kebijakan Ilmu Pengetahuan, Hideki Shirakawa, permasalahannya terkait dengan budaya Jepang dan penekanan yang lebih mengedepankan kelompok daripada perorangan. “Orang-orang Jepang tidaklah cakap dalam menyanggah atau menilai orang... ...Kami asal-usulnya adalah sebuah negeri pertanian, jadi kami suka bergotong-royong, sebagai sebuah kelompok. Perasaan itu masih ada sekarang. Dan itulah mengapa terkadang tidak ada pemeriksaan atau penelaahan yang layak oleh pakar lain dalam ilmu pengetahuan,” kata Shirakawa. (1)
Bukan hanya Jepang
Namun ada satu hal yang tidak diungkap oleh berbagai sumber media massa maupun jurnal ilmiah yang mengungkap latar belakang pemalsuan Fujimura itu. Hal ini secara cermat patut dipertanyakan: Jika budaya masyarakat atau lingkungan akademis Jepang secara khusus dianggap telah mendorong pemalsuan puluhan tahun itu, lalu mengapa pemalsuan serupa juga terjadi di Inggris dan Jerman misalnya, yang memiliki budaya masyarakat dan akademis berbeda dari Jepang?
Di Inggris, Charles Dawson terbukti memalsukan fosil tengkorak Manusia Piltdown selama sekitar 40 tahun (6). Tengkorak itu terungkap sebagai pemalsuan yang dilakukan dengan cara melekatkan rahang orang utan pada tengkorak manusia. Di Jerman, prof. Reiner Protsch von Zieten terungkap memalsukan aneka data seputar usia fosil-fosil yang ditemukan di Eropa selama kurang lebih 30 tahun. (7)
Jika ada kemiripan, maka ketiga kasus pemalsuan besar di 3 negara maju itu sama-sama melibatkan bidang ilmu yang sama atau setidaknya sangat terkait erat: asal-usul dan hubungan masyarakat manusia, sejarah dan budaya manusia, dan ilmu fosil. Menariknya, kesemua ilmu tersebut didasarkan pada teori evolusi Darwin!
Dipermalukan dan dibohongi
Kebohongan selama 20 tahun oleh Fujimura kini tercatat sebagai salah satu penipuan ilmiah terbesar di dunia modern. Tindakan Fujimura menambah daftar panjang penipuan memalukan terkait dengan teori evolusi, yang di dalamnya termasuk pemalsuan manusia Piltdown di Inggris oleh Charles Dawson (6) dan pemalsuan beragam data fosil oleh Prof. Reiner Protsch von Zieten dari Jerman (7).
Selain perasaan malu yang mendalam, masyarakat Jepang juga merasa telah dibohongi selama puluhan tahun, khususnya para siswa di sekolah karena buku-buku pelajaran memuat hasil temuan Fujimura. Kurator utama departemen urusan budaya di pemerintahan metropolitan Tokyo, Shizuo Ono, menuturkan:
“Di ruang-ruang kelas sekolah atas dan sekolah menengah atas, para guru telah mengajar tentang situs-situs purbakala ini dengan bangga, sebagai situs tertua bangsa [Jepang]. Saya telah membaca surat-surat kepada editor di mana para guru mengatakan hati mereka terluka, sebab mereka telah dituduh berbohong oleh para siswa mereka.” (8)
Jumat, 01 Mei 2009
Pemalsuan Heboh Bukti Evolusi Jepang (Bagian 4 - Habis)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Posting Komentar